Rabu, 12 September 2012

About APBD


ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
APBD terdiri atas:
§         Anggaran pendapatan, terdiri atas
§        Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain
§        Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
§        Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
§         Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.
§         Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

FUNGSI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
§         Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan.
§         Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
§         Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
§         Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah.
§         Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.
§         Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
§         Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Selasa, 11 September 2012

Dont Copas My Blog


Berikut ini adalah Cara Membuat Blog Agar Tidak Bisa Di Copy Paste yang dapat saya berikan untuk teman - teman semuanya :
  • Login ke blogger, klik rancangan dan pilih Tab Edit HTML
  • Centang Expand Widget Template
  • Cari kode </head> (gunakan ctrl+f)
  • Copy script berikut lalu paste tepat di bawah kode </head>
<SCRIPT type="text/javascript">
if (typeof document.onselectstart!="undefined") {
document.onselectstart=new Function ("return false");
}
else{
document.onmousedown=new Function ("return false");
document.onmouseup=new Function ("return true");
}
</SCRIPT>
  • Save.
  • Selesai.

Materi Kuliah Manajemen Logistik


PENGERTIAN MANAJEMEN LOGISTIK

Berdasarkan uraian dari pengertian manajemen dan pengertian logistik, bahwa manajemen lebih menitik beratkan pada cara untuk mengelola barang melalui tindakan-tindakan perencanaan dan penentuan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, pemeliharaan dan penghapusan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
A. Hasyim Ali mentermajhkan pendapat P. Bowersox tentang pengertian logistik modern. Dalam buku Manajemen Logistik, Bowersox mengemukakan definisi logistik sebagai berikut :
Logistik adalah proses pengelolaan yang strategis terhadap pemindahan dan penyimpanan strategis barang, suku cadang dan barang dari para suplier, diantara fasilitas-fasilitas perusahaan dan kepada para langganan. (Bowersox,Manajemen Logistik, 1986 : 13)
Fungsi Manajemen Logistik
Fungsi - fungsi manajemen logistik yang dikemukakan oleh  Subagya M  Suganda sebagai berikut :
1.                  Fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan
2.                  Fungsi penganggaran
3.                  Fungsi pengadaan
4.                  Fungsi penyimpanan dan penyaluran
5.                  Fungsi pemeliharaan
6.                  Fungsi penghapusan
7.                  Fungsi pengendalian
Penjelasan dari masing-masing fungsi adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Perencanaan dan Penentuan Kebutuhan
Fungsi perencanaan mencakup aktivitas dalam menetapkan sasaran-sasaran, pedoman-pedoman, pengukuran penyelenggaran bidang logistik.
Penentuan kebutuhan merupakan perincian (detailering) dari fungsi perencaan, bilamana perlu semua faktor yang mempengaruhi penentuan kebutuhan harus diperhitungkan.
2. Fungsi Penganggaran
Fungsi penganggaran terdiri dari kegiatan dan usaha-usaha untuk merumuskan perincian penentuan kebutuhan dalam suatu skala standar, yakni skala mata uang dan jumlah biaya dengan memperhatikan pengarahan dan pembatasan yang berlaku.
3. Fungsi Penyimpanan dan Penyaluran
Fungsi ini untuk merumuskan perincian penentuan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah digariskan dalam fungsi perencanaan, penentuan kebutuhan maupun penganggaran.
4. Fungsi Penyimpanan dan Penyaluran
Fungsi ini merupakan pelaksanaan, penerimaan, peyimpanan dan penyaluran perlengkapan yang telah diadakan melalui fungsi-fungsi terdahulu untuk kemudian disalurkan kepada instansi-instansi pelaksana.
5. Fungsi Pemeliharaan
Fungsi pemeliharaan adalah usaha atau proses kegiatan untuk mempertahankan kondisi teknis, daya guna dan daya hasil barang inventaris.
6. Fungsi Penghapusan
Fungsi penghapusan yaitu berupa kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha pembebasan barang dari pertangungjawaban yang berlaku. Dengan perkataan lain, fungsi penghapusan adalah usaha untuk menghapus kekayaan (asset) karena kerusakan yang tidak dapat diperbaikilagi, dinyatakan sudah tua dari segi ekonomis maupun teknis, kelebihan, hilang, susut dan karena hal-hal lain menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
7. Fungsi Pengendalian
Fungsi ini merupakan fungsi inti dari pengelolaan perlengkapan yang meliputi usaha untuk memonitor dan mengamankan keseluruhan pengelolaan logistik. Dalam fungsi ini diantaranya terdapat kegiatan-kegitan pengendalian inventarisasi (Inventory Control) dan Expenditing yang merupakan unsur-unsur utamanya.
Fungsi tersebut diatas pada dasarnya merupakan siklus kegiatan yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Siklus kegiatan ini secara umum disebut Siklus Logistik


Materi Kuliah Proses Legislatif


 PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA

Apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangaka mengatur hidup bersama maka esensi politik sebenarnya juga suatu komumikasi. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (Panuju, 1997). Shannon dan Weaver (1949) menyatakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksimunusia yang saling pengaruh dan mempengaruhui satu sama lainnya sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatasdalam bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni danteknologi. Menurut Alfian (1993) komunikassi politik diasumsikan sebagai yang menjadikan sistem politik ituhidup dan dimanis. ³Komunikasi politik mempersembahkan semua kegiatan sistem politik baik masa kinimaupun massa lampau, sehingga aspirasi dan kepentingan dikonvermasikan menjadi berbagai kebijaksanaan.Komunikasi menurut Harmoko pada intinya adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh kegiatan jenis komunikasi tersebut dapatmengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi politik adalah upaya sekelompok manusia yangmempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperolehkekuasaan (Rauf, 1993).Unsur-unsur dalam komunikasi pada umumnya terdiri dari: komunikator, komunikan, pesan, media, tujuan,efek, dan sumber komunikasi. Semua unsur tersebut berada pada dua situasi politik atau struktur politik yakni pada suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Yang dimaksud suprastruktur misalnya: Lembaga Legislatif,Eksekutif, dan Yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan infrastruktur misalnya: partai politik, kelompok kepentingan, tokoh politik, dan media komunikasi politik.Sistem politik menurut David Easton sebagaimana disebutkan dalam bukunya Asystem Analysis of PoliticalLife (1965), adalah keseluruhan dari interaksi yang menagkibatkan terjadinya pembagian nilai bagi masyarakat.Cara kerja sistem politik ditentukan oleh adanya suatu masukan dari lingkungan dan setelah melalui prosestertentu membentuk sejumlah output. Selanjutnya output ini diberikan kembali kepada lingkungan sebagaiumpan balik (Panuju, 1994).Input terdiri dari dari dukungan-dukungan dan tuntutan-tuntutan. Dukungan dapat terarah kepada masyarakat politik; rezim atau cara pemerintah (asas-asas politik yang berlaku, tujuan-tujuan dan norma-norma); dan para pemegang kekuasaan (atoritas). Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah kebijaksanaan pemerintah ataunorma-norma dan produk yuridis yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan bersama.Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasanterhadap sistem politik. Melalui komunikasi pula rakyat dapat mengetahui apakah dukungan, aspirasi dan pengawasan itu tersalur atau tidak dalam berbagai kebijaksanaan politik (Rauf, 1993). Karena itulah Rudinimembuat hipotesis, bahwa semakin sehat dan tinggi kualitas komunikasi politik dan sistem politik menunjukan bahwa sifat dan kualitas demokrasi sistem politik itu semakin sehat dan tinggi.Yang mampu dilakukan oleh komunikasi politik adalah:1) Komunikasi merupakan cara dan teknik penyerahan sejumlah tuntutan dan dukungan sebagai input dalamsistem politik. Misalnya, dalam rangka artikulasi kepentingan.2) Komunikasi digunakan sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam rangka mobilitasssosial untuk implementasi tujuan, memperoleh dukungan, memperoleh kepatuhan dan integrasi politik.


Komunikasi juga digunakan sebagai bentuk umpan balik (feed back) atas sejumlah output (kebijaksanaan pemerintah).3) Komunikasi menjalankan fungsi sosialisasi politik kepada warga negara.4) Komunikasi menjalankan peran memberi ancaman (conversion) untuk memperoleh kepatutan sebelum alat paksa dipergunakan, sekaligus juga memberi batasan-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan untuk membatasi ruang gerak aktivitas politik masyarakat.5) Komunikasi mengkoordinasikan tata nialai politik yang diinginkan, sehingga mencapai tingkat homogenitasyang relatif tinggi. Homogenitas nilai-nilai politik ini sangat menentukan stabilitas politik.6) Komunikasi sebagai kekuatan kontrol sosial yang memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik.(Panuju,1998).Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu komunikasi : 1) adalah hasrat manusia untuk mengontrollingkungannya; 2) adalah upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya; 3) adalah upaya untuk melakukan tranformasi warisan sosialisasi. Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Profesor David K. Berlo dari Michan State Universitymenyebut secara ringkas bahwa komunikasi sebagai instrumen dari interaksi sosial berguna untuk mengetahuikeberadaan diri sendiri dalam menciptakan keseimbangan dengan masyarakat (Byrnes, 1965). Sedangkankomunikasi itu sendiri dipengaruhui oleh bebrapa faktor antara lain, orang yang berkomunikasi, motivasinya,latar belakang pendidikannya, prasangka pribadi (personal bias) (Thoha, 1983).Legislatif/Parlemen adalah suatu temapat dimana secara formal masalah-masalah kemasyarakatan dibahas olehanggota masyarakat. Kerena anggota masyarakat terlibat didalam pembahasan itu, maka apapun yangdiputuskan mengikat seluruh anggota masyarakat untuk melaksanakan. Karena fungsinya sebagai tempat berdiskusi seluruh anggota masyarakat, maka Legislatif/parlemen harus:1. Menggambarkan secara utuh kelompok yang ada dalam masyarakat,2. Orang-orang yang terlibat didalamnya memilliki keahlian minimal dan pengetahuan luas untuk memecahkan persoalan masyarakat,3. Anggota Legislatif/Parlemen harus mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri sendiriatau kelompoknya. (Riswandha : 2001)Dalam hubungan Legislatif dan Eksekutif Daerah dalam proses perumusan Peraturan Daerah maka komunikasiyang sering dilakukan adalah komunikasi organisasi (antar organisasi) dan komunikasi antar pribadi(interpersonal). (Thoha,1993) menjelaskan komunikasi organisasi adalah suatu komunikasi yang terjadi dalamorganisasi tertentu. Ciri dari komunikasi organisasi ini adalah berstruktur atau berherarki. Komunikasi inimempunyai struktur yang vertikal dan horizontal. Dan sebagai akibatnya dapat pula berstruktur keluar organisasi. Struktur yang terakhir jika organisasi tersebut melakukan interaksi dengan lingkungannya.Pola Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Perumusan Peraturan Daerah sebagai Proses Legislatif Dengan mengikuti kelaziman dengan teori ketatanegaraan pada umumnya maka salah satu fungsi DPR adalahdibidang Legislatif. Fungsi Legislatif DPR tidak terlepas dari konsep ³trias politica´ yang ditawarkan olehMontesquieu. Pendapat Montesquieu kekuasaan itu berada pada satu tangan maka kekuasaan itu sering disalahgunakan. Untuk mencegah penyalahgunaan ataupun penggunaan kekuasaan yang berlebih-lebihan makakekuasaan itu dipisah-pisahkan (Thaib,1994).

Menurut konsep ³trias politica´ kekuasaan dalam negara dibagai ada tiga yakni, kekuasaan Legislatif,kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya sistem pemisahan tersebut maka didalam konsep³trias politica´ terdapat suasana ³check and balance´ karena masing±masing kekuasaan dapat salingmengawasi, menguji sehingga tidak mungkin organ-organ kekuasaan itu melampaui kekuasaan yang telahditentukan. Dengan demikian akan terdapat pertimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga tersebut. Konsep³trias politica´ tersebut diadakan modifikasi dalam sistem pemerintahan negara-negara barat. Sedangkanlandasan proses kekuasaan Legislatif di Indonesia secara garis besar dilakukan oleh pihak Legislatif danEksekutif pada tataran DPR dan Presiden juga dilakukan oleh DPRD dan pemerintah Daerah.Lembaga Legislatif kita bukanlah konsep barat. Sebagaimana diketahui Undang-undang 1945 fungsi membuatUU yang lazim disebut fungsi Legislatif bukanlah semata-mata dilakukan oleh DPR. Jelasnya fungsi Legislatif dan ketetanegaraan dilaksanakan secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Jadiadalah keliru kalau ada sementara orang yang beranggapan itu adalah mutlak pada DPR. Apabila kita tinjau darisudut pandang UUD 1945 maka pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Presiden memegang kekuasaanmembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Dari rumusan Pasal 5 ayat (1) secara tegas tanpa ragu-ragu dinyatakan bahwa:1. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.2. Bahwa undang-undang yang dibentuk Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Namun begitu dengan adanya hubungan antara Presiden dan DPR dalam pembuatan Undang-Undang makaPresiden tidak bisa membuat Peraturan perundang-undangan dengan sewenang-wenang karena DPR akanmembatasinya dengan mengemukakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian terdapat perimbangan kekuatan antara Presiden dengan DPR.Dengan adanya reformasi dibidang politik, hukum, dan perundang-undangan maka kedudukan DPRD danPemerintah Daerah saat ini mengalami perubahan yang mendasar dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.Menurut Riswandha fungsi DPR maupun DPRD sebagai wakil ada 3 (tiga) diantaranya pembentukan legitimasiadalah fungsi badan perwakilan atas nama rakyat berhadapan dengan Eksekutif. Badan inilah secarakonstitusional membentuk citra demokratis pemerintah, sekaligus penentu stabilitas politik. Karena itu DPR maupun DPRD sebagai lembaga perwakilan terlalu pasif dan tidak pernah memberikan koreksi ataumengingatkan Eksekutif, justru mereka yang kehilangan legitimasinya.Sebagai sebuah institusi, para wakil dalam dewan atau lembaga perwakilan memiliki 6 (enam) fungsi dasar,yakni :1. Fungsi Perwakilan RakyatFungsi ini berhubungan dengan posisi para aktivis partai(yang mewakili rakyat) sebagai agregator danartikulator aspirasi masyarakat. DPRD yang baik adalah yang sanggup memahami, menjaring, merekamaspirasi masyarakat.2. Fungsi LegislasiFungsi ini berhubungan dengan upaya menterjemahkan aspirasi masyarakat menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksanakan oleh pihak Eksekutif (pemerintah). Disini kwalitas anggota DPRD diuji.Mereka harus mamapu merancang dan menentukan arah serta tujuan aktivitas pemerintahan sesuai dengankondisi dan kebutuhan setempat.

3. Fungsi Legeslative ReviewFungsi ini berhubungan dengan upaya menilai kembali semua produk politik yang secara umum dirasakanmengusik rasa keadilan ditengah masyarakat seperti dinilai atau dirasakan:a. Membebani masyarakat, seperti penentuan objek pajak. b. Memebatasi hak-hak masyarakat, seperti penertiban PKL.c. Megakibatkan ketimpangan distribusi sumber daya alam, seperti pengalihan lahan pertanian menjadilapangan golf.4. Fungsi PengawasanFungsi yang berkaitan dengan upaya memastikan pelaksanaan keputusan politik yang telah diambil tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Idealnya anggota DPRD tidak sekedar mendeteksiadanya penyimpangan yang bersifat prosedural, juga diharapkan dapat mendeteksi penyimpangan teknis, sepertidalam kasus bangunan fisik yang daya tahannya diluar perhitungan normal.5. Fungsi AnggaranFungsi ini berkaitan dengan kemampuan DPRD mendistibusikan sumber daya lokal (termasuk anggaran, dsb)sesuia dengan skala prioritas yang secara politis telah ditetapkan6. Fungsi Pengaturan PolitiMelalui fungsi ini anggota DPRD dituntut untuk:a. Menjadi fasilitator aspirasi dan konflik yang ada pada tataran masyarakat, sehingga menghindari pengunaankekerasan pada tingkat masyarakat. b. Menjadi mediator kepentingan masyarakat dengan pemerintahDalam melaksanakan fungsi-fungsi itu DPR maupun DPRD mepunyai hak-hak; mengadakan penyelidikan(angket) dan mengubah aturan yang berlaku (amandemen).Aktualisasi fungsi dan hak tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan. James Lee (dalamRiswandha 1975:156 ± 175) memasukkan faktor-faktor tersebut kedalam 3 (tiga) kelompok:1. Stimuli Ekternal, yang mencangkup apiliasi partai politik, kepentingan pemilih, input output Eksekutif, danaktivitas kelompok-kelompok penekan.2. Setting psikologis, yaitu predisposisi personal, sikap, dan peran-peran yang dijalankan, serta harapan-harapannya.3. Komunikasi Intra-institusional, baik formal maupun informal yang berpotensi menggantikan ataumembesarkan pengaruh faktor-faktor lain yang telah disebutkan. Secara skematis pengaruh ini pada bagan berikut:

Dalam pembuatan Peraturan Daerah, DPRD bermitra dengan Kepala Daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 42 UU No. 32 th. 2004 ayat (1) point (a) yang berbunyi ³DPRD mempunyai tugas dan wewenang: membentuk Perdayang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Sementara dalam pasal Pasal 44 ayat(1) point (a) disebutkan bahwa Anggota DPRD mempunyai hak: mengajukan rancangan Perda.Kalau DPRD memiliki fungsi mandiri berupa pengawasan dan perwakilan maka Kepala Daerah memilikifungsi mandiri berupa pembuatan keputusan Kepala Daerah untuk menjabarkan Peraturan Daerah danmemimpin penyelenggaraan pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama denganDPRD. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan pemerintah Daerah ialah melaksanakan kebijakan publik,menegakkan Peraturan Daerah dan keputusan Daerah, memberikan pelayanan publik kepada warga masyarakat,mencari dan mengolah informasi yang diperlukan. Perangkat Daerah, seperti dinas Daerah dan lembaga teknisDaerah lainnya. Yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah yang sehari- hari melaksanakan keempat bentuk  penyelenggaraan pemerintahan tersebut dibawah pengendalian dan pengarahan Kepala Daerah. Hal ini DPRDakan lebih menonjol dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan, sedangkan perangkatDaerah dan Kepala Daerah akan lebih menonjol dalam implementasi kebijakan, penegakan Peraturan, dan pemberian pelayanan publik kepada warga masyarakat.Karena itu tidak mengherankan bila hubungan DPRD dengan jajaran Eksekutif Daerah akan lebih berlangsungdinamis karena penuh perdebatan dan adu argumentasi, tanya jawab yang hidup dan transparan, dan konflik kepentingan. DPRD misalnya agar APBD dan Peraturan Daerah lainnya agar dirumuskan secara operasioanaltidak saja menyangkut kewenangan Legislatif mereka tetapi juga karena harus memperjuangkan kepentingankonstituennya dalam APBD dan Peraturan Daerah lainnya. Kepala Daerah dan Perangkat Daerah mungkinsukar menerima kenyataan ini mengingat pada masa lalu kalangan Eksekutiflah yang secara praktis menentukanarah dan bentuk APBD dan Peraturan Daerah lainnya. Kalangan Eksekutif harus belajar menerima kenyataanyang seharusnya itu. Tetapi kalangan Eksekutif tidaklah begitu saja kehilangan pengaruh karena bertindak  proporsional perangkat Daerah justru unggul dalam informasi dan keahlian. Dialek kita antara aspirasimasyarakat yang diperjuangkan oleh para anggota DPRD dan program yang disusun berdasarkan informasi(yang lengkap dan akurat) dan keahlian yang dibawakan oleh pihak jajaran Eksekutif justru akan melahirkankeputusan politik yang terbaik menurut ruang dan waktu serta dapat dilaksanakan.Hubungan DPRD dan jajaran Eksekutif yang dinamis juga terjadi dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasandan fungsi perwakilan DPRD. Dari ketiga fungsinya tersebut, kemungkinan besar pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi perwakilanlah yang akan sangat menonjol. Berangkat dari kewenangan DPRD memintaketerangan yang akan disertai ancaman sanksi bagi yang menolaknya, keberanian para anggota DPRD semakinmeningkat baik untuk menggunakan hak meminta keterangan kepada Pemda, hak mengajukan pertanyaan pendapat, hak mengadakan penyelidikan dan hak meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah maupunmengajukan pertanyaan kritis secara transparan. Hal ini tidak saja memerlukan sikap dan perilaku dari pihak Eksekutif karena pada masa lalu mereka mudah sekali menjinakkan pertanyaan anggota DPRD tetapi jugamemerlukan pendekatan baru dalam merespon pertanyaan yang kritis dari para anggota DPRD. Pendekatan baru yang dimaksud adalah profesionalisme dalam melaksanakan tugas mentaati hukum dalam menggunakankewenangan, dan transparan dan kejujuran dalam sikap dan tindakan.Kebijakan Publik Agar pemaparan kebijakan publik lebih jelas sebelum membahas kebijakan publik terlebih dahulu akan dibahas pengertian kebijakan dan pengertian publik. Baru setelah kedua pengertian tersebut dibahas dilanjutkankemudian pengertian kebijakan publik.Istilah policy (kebijakan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain sepertitujuan (goals), program, keputusan, undang-undang ketentuan-ketentuan usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar ( Wahab, 1990).Seorang ahli, Anderson (1979) merumuskan bahwa kebijakan itu adalah A purposive course of action followed by an actor or set actors in dealing with problem or matter of concern (serangkaian tindakan yang mempunyaitujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang atau kelompok pelaku guna memecahkan suatumasalah tertentu).Sedangkan pengertian publik; dalam bukunya yang sama, Islamy (1998) menjelaskan:

Kata publik mempunyai dimensi arti agak banyak, secara sosiologis kita tidak boleh menyamakan denganmasyarakat. Perbedaan pengertian masyarakat diartikan sebagai ³sistem antar hubungan sosial dimana manusiahidup dan tinggal secara bersama ±sama´. Didalam masyarakat tersebut norma-norma atau nilai-nilai tertentuyang mengikat atau membatasi kehidupan anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik diartikan sebagai³kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat atau kepentingan yang sama´. Tidak ada norma yangmengikat /membatasi perilaku publik sebagaimana halnya pada masyarakat, karena publik itu sulit dikenalisifat-sifat kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol mereka mempunyai perhatianatau minat yang sama.Untuk selanjutnya pengertian publik sebagaimana yang telah diuraikan diataslah yang digunakan sebagai pembatas. Selanjutnya pengertian kebijakan publik (public policy), Dye (1978) memberikan definisi kebijakan publik sebagai ³is whatever governments choose to do or not to do´. Edwards dan Sharkansky (1978) dalamIslamy (1997) mengartikan public policy yang hampir mirip dengan definisi Dye tersebut diatas, yaitu sebagai berikut:³«««.is what governments say and do, or not do. It is the goals or purpose of governments programs«´(³adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupasasaran atau tujuan program-program pemerintah«.´).Edwards dan Sharkansky kemudian mengatakan bahwa kebijakan negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yangdilakukan pemerintah.Kemudian, berkaitan dengan definisi kebijakan Anderson yang telah dikemukakan diatas, Anderson (1979)mengatakan ³public policies are those policies developed by governmental bodies and official ³. Berdasarkan pengertian dari Anderson tentu saja pengertian kebijakan dapat dijabarkan sebagaimana diartikan Anderson pada uraian sebelumnya. Jadi menurut Anderson setiap kebijakan yang dikembangkan oleh badan atau pejabat pemerintah dapat disebut kebijakan publik. Kebijakan publik tidak hanya yang dibuat oleh lembaga/ badannegara tertinggi/tinggi saja, seperti dinegara kita MPR dan Presiden tetapi juga oleh badan/pejabat disemua jenjang pemerintahan.Sofian Effendi (1997) memberikan batasan kebijakan publik adalah suatu tindakan pemerintah yang bertujuanuntuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam masyarakat yang antara lain tidak mau bertanggungjawab.Jadi kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah dalammasyarakat yang orang lain tidak mau mengatasinya. Sedangkan menurut Dye (Darwin, 1997) kebijakan publik adalah semua pilihan atau tindakan yang dilakukan pemerintah, baik untuk melaksanakan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, lebih jauh lagi dikatakan bahwa pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, harus ada tujuannya (objek). Dan kebijakan publik itu harus meliputi semua tindakan-tindakan pemerintah.Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, untuk mengatasi masalah-masalahdalam masyarakat, bentuknya berupa Peraturan perundang-undangan atau program-program.Perumusan KebijakanMembuat atau merumuskan suatu kebijakan, apalagi kebijakan itu berupa Peraturan/Peraturan Daerah, bukanlahsuatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu kebijakan/ Peraturan dibuat bukan untuk kepentingan politik (misalnya guna mempertahankan status quo pembuat keputusan) tetapi justruuntuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan (Islamy, 1997).Untuk memperjelas makna yang terkandung dalam perumusan kebijakan, Charles Lindblom (dalam AbdulWahab 1990), menuturkan bahwa pembuatan kebijakan negara (Public-Policy-marking) itu pada hakekatnya
merupakan ³an extermely complex, analytical and politica process to which there is no beginning or end, andthe boundaries of which are mosed uncertain. Somehow a complex set of forces that we call policy making alltaken together, produses effects called policies.´ (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisisdimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang palingtidak pasti. Serangkaian kekuatan-kekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan kebijakannegara itulah yang membuahkan hasil yang disebut kebijakan).Raymond Bour (dalam Wahab, 1990) merumuskan pembuatan kebijakan negara sebagai proses transformasiatau pengubahan input-input politik menjadi output-output politik. Pandangan yang diketengahkan oleh Bouer ini nampak amat oleh teori analisis sistem sebagaimana dianjurkan oleh David Easton (1963).Sementara kalau kita mengikuti pendapat Anderson (1979) dan Tjokroamidjoyo (1976) mereka membedakan pengertian pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan dengan mengatakan: pembuatan kebijakan atau policy formulation sering disebut juga policy making dan ini berbeda dengan pengambilan keputusan karena pengambilan keputusan adalah pengambilan pilihan sesuatu alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal danselesai sampai disitu. Sedangkan policy making meliputi banyak pengambilan keputusan. Jadi menurutTjokroamidjoyo, apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai, maka kegiatan itu disebut pembuatan keputusan, sebaliknya bila pemilihan alternatif itu terus-menerus dan tidak pernah selesai, makakegiatan tersebut dinamakan perumusan kebijakan.Menurut Islamy (1997), langkah-langkah perumusan kebijakan disusun sebagai berikut: a) Perumusan masalahkebijakan negara; b) Proses memasukan masalah kebijakan negara ke dalam agenda pemerintah; c) Perumusanusulan kebijakan negara; d) Proses legitimasi kebijakan negara; e) Pelaksanaan kebijakan negara dan f)Penilaian kebijakan negara.Proses perumusan kebijakan pada intinya adalah suatu tindakan dan interaksi dilingkungan stakeholder yangmenghasilakan output dalam bentuk kebijakan. Menuruut Laswell (dalam Dunn, 1998) bahwa tujuan ilmu-ilmukebijakan tidak sekedar untuk memberikan penngetahuan yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaandemokrasi. Secara singkat tekanan khususnya adalah perwujudan martabat manusia baik secara teori maupunfakta. Jadi komitmen yang jelas terhadap nilai-nilai kemanusiaan tertentu yaitu demokrassi dan martabatmanusia.Otonomi Daerah: Demokrasi Lokal Dalam Proses Perumusan Peraturan DaerahDidalam konteks teoritis demokrasi selalu berkaitan erat dengan desentralisasi kekuasaan. Dan desentralisasi pada dasarnya diwujudkan dengan adanya otonomi pada tingkat lokal untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri, yang sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai diberlakukannyaUU 32 Th 2004 sebagai hasil revisi dari UU terdahulu, Indonesia memasuki babak baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Dimana daerah memiliki wewenang yang lebih besar dalam mengatur dan mengurusi rumahtangganya sendiri, dan ini terlihat dari kewenangan pusat yang sudah dibatasi, yang selama ini tingkatanotonomi daerah asas dekonsentrasi serta meningkatkan kewenangan DPRD.Makna dari desentralisasi itu sendiri dapat dilihat dari banyak sisi seperti yang dikemukakan oleh Ichlasul Amaldan Nasikun (1988) yang menyoroti dari sudut pandang kandungan yang dimilikinya yaitu ³ desentralisasiadministratif dan desentralisasi politik. Desentralisasi administratif pada umumnya disebut dekonsentrasi danmempunyai pendelegasian sebagian wewenang pelaksanaan pada tingkat bawah. Pejabat-pejabat lokal hanya berdasarkan rencana dan anggaran yang sudah ditentukan oleh pusat, sedangkan desentralisasi politik berarti bahwa sebagian wewenang membuat keputusan dan kontrol atas sumber-sumber dana diserahkan pada pejabat- pejabat regional atau lokal´.Bahkan menurut Sofian Effendi (1993) ³ desentralisasi tidak sekedar pendelegasian otoritas formal dalam bentuk dekonsentrasi (pelimpahan wewenang implementasi kepada daerah) dan devolusi (pelimpahan sebagianwewenang pembuat kebijakan dan pengendalian sumberdaya kepada daerah)´.Sedangkan menurut Warsito Utomo (1998) ³otonomi atau desentralisasi bukanlah semata-mata bernuansatechnical adminstration atau practical administration saja. Tetapi juga harus dillihat sebagai process of politicalinteraction. Dan ini berarti bahwa desentralisasi atau otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, dimanayang diinginkan tidaklah hanya demokrasi pada tingkat nasional, tetapi juga demokrasi lokal yang arahnya
kepada pemberdayaan atau kemandirian daerah´. Pendapat-pendapat diatas termasuk pendapat yang mungkinsaja secara kontekstual, berbeda tentang desentralisasi yang diterjemahkan dalam konteks otonomi daerah danmemang itu dihubungkan karena otonomi itu sendiri sifatnya relatif dan tidak ada suatu wilayah baik negaraatau daerah yang memiliki otonomi mutlak, karena interaksi yang terjadi dengan lingkungan disekitarnya. Namun persoalaannya dalam negara yang demokrasi, sejauh mana otonomi tersebut memberikan posisi yanglebih besar pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.Dalam arti kedaulatan rakyat pada tingkat lokal akan memberikan konstribusi politik pada kedaulatan rakyat pada tingkat yang lebih besar, negara yang antara lain berhubungan dengan posisi rakyat dalam proses pemilihan pemimpin publik di daerah. Dimana rakyat memiliki kebebasan untuk berpendapat dan memilihagen-agennya yang duduk sebagai wakil-wakil mereka dilembaga Legislatif maupun pemimpin publik dilembaga Eksekutif pada tinngkat lokal dengan bebas dalam sistem demokratis.Menurut Ichlasul Amal (2000) pola hubungan eksekutif-legislatif terbagi dalam tiga pola hubungan yakni :³dominasi Eksekutif, dominasi Legislatif, dan hubungan yang seimbang´ dan lebih lanjut dikatakannya dalamsuatu sistem politik satu negara ketiga pola hubungan tersebut tidak berjalan dengan tetap´.Oleh karena itu untuk membangun pola hubungan yang ideal antara Legislatif dan Eksekutif dalam aratiterciptanya keseimbangan antara kedua lembaga tersebut sangat tergantung pada sistem politik yang dibangun.Semakin demokratis sistem politik itu maka hubungan antara Legislatif dan Eksekutif akan semakin seimbang.Sebaliknya semakin tidak demokratis sistem politik suatu negara maka yang tercipta dua kemungkinan yaitudominatif Eksekutif yang mencipatakan rezim otoriter dan dominatif Legislatif yang mencipatakan anarki politik.Dan dalam pola yang seimbang antara Legislatif dan Eksekutif itu pulalah hubungan yang hendak dibangunantara Legislatif dan Eksekutif daerah dalam melaksanakan demokrasi lokal. Dimana melalui keseimbangkekuasaan antara Legislatif dan Eksekutif didaerah diharapakan mekanisme check and balances ditingkat lokaldapat direalisasikan dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.Mengingat demokrasi lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem demokrasi nasional, makaformat demokrasi lokal sangat dipengaruhi oleh sistem politik nasional sehingga berkaitan dengan proses perumusan Peraturan Daerah, tentunya tidak melampaui perundang-undangan yang lebih tinggi, namun dalam perumusan Perturan Daerah haruslah mempunyai legitimasi, keabsahan tidak saja legitimasi dari sudut pandang penguasa tetapi juga dari sudut pandang rakyat.Dipandang dari sudut penguasa sebagaimana dikatakan A.M. Lipset (Budiardjo, 1996) ³legitimasi menyangkutkemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk  politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu´, sedangkan dari sudut pandang rakyat,sebagaimana diuraikan Miriam Budiardjo (1996) legitimasi atau ³Keabsahan adalah kenyakinan dari anggota-anggota masyarakat masyarakat bahwa wewenangyang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalahwajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu seseuaidengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah, jadi mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar Peraturan-Peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa harus dipatuhi.Efektifitas KebijakanDalam Ensiklopedia administrasi memberi pengertian tentang efektifitas sebagai berikut :³Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yangdikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan denngan maksud tertentu yang memang dikehendaki.Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.(The Liang Gie, 1967)´.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat efektif adalah suatu kegiatan yang telahdilakukan memenuhi target yang di inginkan atau tujuan yang telah ditetapkan.Pendapat lain juga memberikan pengertian tentang efektifitas seperti Richard M. Steirs (1985 : 2) sebagai berikut :³Bahwa makin rasional suatu organisasi, makin besar kemampuan yang diperoleh kearah tujuan, organisasimakin efektif pula. Dengan demikian efektifitas dipandang sebagai tujuan akhir oleh sebagian besar organisasisetidaknya secara teoritis´.Definisi ini menyatakan bahwa efektifitas dimaksudkan seberapa jauh organisasi itu mencapai tujuan sebegitu jauh pula tingkat efektifitas yang telah dicapai. Berarti suatu kebijakan dapat dianggap sudah efektif apabilatarget dari tujuan kebijakan telah terpenuhi.Maka yang dimaksud Efektifitas Kebijakan adalah keberhasilan implemintasi kebijakan tersebut dapat dicapaisecara tepat waktu.Keberadaan suatu organisasi salah astunya adalah untuk mencapai tujuan kebijakan, seperti pendapat (MichaelKeely : 1984 dalam Gibson dkk, 1996 : 38) sebagai berikut:³Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi efektifitas merupakan pendekatan evaluasi tertuadan paling luas digunakan´.Jadi pencapaian tujuan tidak dapat diukur bagi organisasi yang tidak menghasilkan keluaran yang bersifatwujud.Suatu kebijakan yang telah ditetapkan dapat bertahan lama dan relefan dengan tujuan maka dapat digunakan 3(tiga) kriteria yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.Dari model diatas penerapannya dalam proses perumusan Peraturan Daerah antara Legislatif dan Eksekutif dengan menghasilkan Peraturan Daerah yang baru ini dapat mempermudah pegawai untuk berurusan mengenaikenaikan pangkat, gaji berkala yang sebelumnya harus melalui Biro Aparatur sekarang cukup diselesaikan diBiro masing-masing sehingga dikatakan efisien. Suatu kebijakan yang telah ditetapkan diharapakanmempermudah pegawai berurusan sehingga akan puas. Bila Peraturan Daerah ini diterapkan, maka sasarannyaakan terus berupaya mempertahankannya sehingga Peraturan Daerah itu akan dipatuhi oleh pegawai.Kriteria tersebut menggunakan sejumlah literatur jangka pendek untuk kelangsungan Peraturan Daerah jangka panjang seperti produktifitas, efesiensi, fleksibilitas dan tingkat kepuasan :1. Jangka Pendek, suatu kebijakan yang dilakukan pada tataran jangka pendek adalah mengukur suatu produksi,dokumen yang selesai diproses dan klien yang dilayani. Sedangkan mutu dikaitkan dengan kreteria ini adalahmenjadi efektifitas individu dari kelompok sasaran.2. Jangka Menengah pada kreteria jangka menengah, persaingannya dihubungkan dengan pengembangan, bagaimana suatu organisasi mampu mewujudkan kemampuannya dalam berbagai situasi untuk dapatmenjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu wewenang yang telah diberikan.3. Jangka Panjang kreteria efektifitas jangka panjang adalah dengan, memperhatikan suatu kebijakan yang telahditetapkan dapat menjaga kelangsungan hidup sampai kepada yang tidak kemungkinan suatu saat tidak sesuailagi dengan keadaan dan situasi perkembangan jaman.
Gibson (1997) juga mengajukan suatu model tentang hubungan antara fungsi manajemen, efektifitas individu,kelomppok dan organisasi yang bagaimana diterapkan, dan difungsikan mencapai tujuan yang efektif sepertitertera pada gambar berikut :Hubungan antar kelomppok, fungsi, individu dan organisasi adalah dengan efektifitas yang bersifat langsungyang pembahasannya dapat dilihat sebagai berikut.1. Pertimbangan manajerial adalah karena proses manajerial yang melekat dengan proses manusia berhubungandengan organisasi mengenai faktor ini memungkinkan pemahaman perilaku manusia di tempat kerja.2. Sifat kerja manajerial berasal dari perlunya mengkoordinasikan pekerjaan dalam organisasi. Berdasarkansifatnya, organisasi memanfaatkan spesialisasi, tetapi adanya spesialisasi membutuhkan koordinasi.3. Teknik manajerial semua ditujuankan pada penegakan efektifitas, artinya masyarakat akan dapat menerimasuatu kebijakan apabila telah diterapkan dengan sepenuhnya tanpa pandang bulu.Model implementasi dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarso, 1989) bahwa untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari suatu kebijakan yang efektif adalah pencapaian program. Perludiperhatikan bahwa beberapa pelayanan yang sebenarnya dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansional pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan suatu kebijaksanaan mungkindapat di implementasikan secara efektif. Tapi gagal dampak substansional karena kebijaksanaan tidak disusunsecara baik oleh instituisi dominan suatu kebijakan diberlakukan kesemuanya faktor tersebut dapatmempengaruhi dan secara bersama-sama mempunyai peran masing-masing mewujudkan implementasikebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan dengan adanya kelompok sasaran. ###
 DAFTAR PUSTAKA
 Abdullah, Rosali, 2005,
 Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 
, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.Abdul Wahab, Solichin., 1990,
 Pengantar Analisis Kebijakan Negara

 ,
Rienika Cipta, Jakarta.Alfian., 1993,
 Komunikasi politik dan Sistem Politik Indonesia

 ,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Anderson, JE., 1979,
 Public Policy Making Hoolt 

 ,
Rinehart and Weston, NewYork.Budiardjo, Miriam, 1996,
 Demokrasi di Indonesia Parlementer Dan Demokrasi Pancasila,
Jakarta, Gramedia.Dunn, William., 2000,
(terjemahan Samudra Wibawa, Agus Herwanto Hadna, Erwan, Agus purwanto, Penyunting; Muhadjir Darwin) Pengantar Analisis Kebijakan Publik,
Gadjah Mada University Press.Effendi, Sofian., 1990,
 Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Menghadapi Era Tinggal  Landas,
Solo.

PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
Legislative: membuat undang-undangEksekutif : kekuasaan yang menyelenggarakanYudikatif : lembaga eksekutor (peninjau) atas penyelenggaraan per-undanganLEGISLATIFAsal kata berasal dari kata ³legis´ dan berkembang menjadi ³legal´ lalu menjadi ³legislative´ sedangkan dari belanda ³legislatur´Legas : aturan menjadi legal kalau sesuai dengan aturanLegislative : lembaga dan produknya adalah legisLegilatif bisa juga dikatakan sebagai wakil rakyat yang di hasilkan melalui pemilihan umum dan bisa disimpulkan bahwa legislatgif adalah lembaga / organisasi perwakilan rakyat yang dihasilkan dari hasil pemiludan membuat undang-undang.Mengapa Negara perlu legislative?1.

Karena sebagai syarat/ prinsip dari Negara demokrasi2.

Untuk menghindari kekuasaan yang absoluteKekuasaan cendrung buruk dan untuk mengatasinya harus ada yang control atau di imbangi. Cendrung buruk maksudnya pengulangan cara dan menggunakanya lebih kepada kepentingan sedndiri.Pentingnya legislativeAgar tidak terjadi kekuasaan yang absolute maka dibagi lembaga-lembaga tinggi Negara salah satunyalegislative dimana hasil pilihan rakyat.Dimana kakuasaan absolute itu akan menciptakan hal yang buruk,. Untuk mencegahnya maka harus adatindakan control/ diimbangiKarena kekuasaan absolute akan menimbulkan:
1. Dominasi
2. Eksploitasi
3. Diskriminasi tentang perbedaan perlakuanAbsolute menciptakan dominasi


All about Legislation


TENTANG LEGISLASI / LEGISLATIF
Badan legislatif di Indonesia atau representatives bodies adalah struktur politik yang mewakili rakyat Indonesia dalam menyusun undang-undang serta melakukan pengawasan atas implementasi undang-undang oleh badan eksekutif di mana para anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum. Struktur-struktur politik yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I dan Tingkat II, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Selain badan legislatif, di Indonesia juga terdapat dua badan trias politika lainnya yaitu badan eksekutifdan badan yudikatif.


Melalui UUD 1945, dapat diketahui bahwa struktur legislatif yang ada di Indonesia terdiri atas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD I, DPRD II), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

Berapa Kamarkah Legislatif Indonesia?

Badan-badan legislatif Indonesia memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda. Sebab itu, Jimly Asshiddiqie menyebut Indonesia setelah Amandemen ke-4 UUD 1945 menerapkan sistem Trikameral (sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan rakyat karena terdiri atas tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Argumentasi tiga kamar ini didasarkan bahwa masing-masing dari ketiga badan memiliki fungsi dan wewenang yang spesifik serta berbeda, kendati sesungguhnya kuasa dominan dalam membentuk undang-undang hanyalah di DPR.

Sebagai pembanding, dapat dilihat sistem ketatanegaraan Amerika Serikat yang bikameral (dua kamar). Di negara tersebut kekuasaan legislatif ada di tangan Kongres yang terdiri atas dua kamar yaitu The House of Representatives dan Senates. Kongres terdiri atas The House of Representatives dan Senates. Anggota The House of Representatives terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota Senates terdiri atas wakil-wakil negara bagian. Kongres tidak berdiri sebagai badan tersendiri oleh sebab ia hanya ada berkat gabungan antara anggota The House of Representatives dan Senates. Sementara di Indonesia, ada tiga lembaga perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR (termasuk DPRD I dan II di tingkat daerah), dan DPD.

Tugas dan wewenang MPR digariskan oleh Pasal 2 UUD 1945 yang meliputi tiga hal yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar; (2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden; dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-undang Dasar.

Anggota MPR tidak dipilih secara per se karena anggota MPR adalah kolektivitas dari seluruh anggota DPR-RI ditambah seluruh anggota DPD. Hanya anggota DPR-RI dan DPD saja yang dipilih rakyat secara langsung. MPR merupakan struktur legislatif yang cuma berkedudukan di tingkat pusat. MPR bersidang sedikitnya 5 (lima) tahun sekali dan setiap keputusannya diambil dengan suara terbanyak.

MPR Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras dua kamar tersebut (DPR dan DPD). Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan tersendiri yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut: 
1.                  Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah (regional representation).
2.                  MPR tidak lagi berfungsi selaku supreme body yang punya kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi: (1) menetapkan UUD dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya: (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden.
3.                  Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).
4.                  Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat. 


Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan Presiden. 
Selain itu, Pasal 8 ayat (3) menyebut, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 (tiga puluh) hari MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 (dua) pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Juga, Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.Dengan argumentasi-argumentasi ini, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan sistem perwakilan tiga kamar (trikameralisme).

Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sesungguhnya hanya punya tiga fungsi, yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan terpenuhinya mekanisme lain yang tidak mudah di dalam UUD 1945).

Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut.

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah: Mr. Kasman Singodimedjo (ketua); Mr. Sutardjo Kartohadikusuma (wakil); Mr. J. Latuharhary (wakil); dan Adam Malik (wakil). KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.

Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) dan UUD Sementara 1950 (UUDs 1950). Di dalam kedua versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar).

Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD permanen. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya deadlock. Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah: (1) Pembubaran Konstituante; (2) Berlakunya kembali UUD 1945; dan (3) Pembatalan UUDS 1950 serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara (MPRs) serta Dewan Pertimbangan Agung sementara (DPAs). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah: 
§                     MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan;
§                     Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden;
§                     Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional);
§                     Anggota tambahan MPRs diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRs yang dikuasakan oleh Presiden; dan
§                     MPRs punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRs yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai berikut: Chairul Saleh (ketua); Mr. Ali Sastroamidjojo (wakil); K.H. Idham Chalid (wakil); Dipa Nusantara Aidit (wakil); dan Kolonel Wilujo Puspojudo (wakil).

Dalam kelanjutannya, MPRs ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan 10 Nopember–7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor I/MPRs/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor II/MPRs/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.

Sidang kedua yang diadakan MPRs berlangsung tanggal 15–22 Mei 1963. Dalam sidang kedua ini dicapat dua ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor III/MPRs/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor IV/MPRs/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11–16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor V/MPRs/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRs Nomor VI/MPRs/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan MPRs Nomor VII/MPRs/1965 tentang Gesuri, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), The Fifth Freedom is Our Weapon dan The Era of Confrontation sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4) Ketetapan MPRs Nomor VIII/MPRs/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat presiden, terbentuklah susunan pimpinan MPRs sebagai berikut: Dr. Abdul Haris Nasution (ketua); Osa Maliki (wakil); H.M. Subhan Z.E. (wakil); M. Siregar (wakil); dan Mashudi (wakil). Struktur baru MPRs ini mengadakan Sidang Umum keempat MPRs di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni – 5 Juli 1966. Sidang umum ini menghasilkan banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah dua puluh empat. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRs untuk mendengar Pidato bertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara.

MPRs tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul Pelengkap Nawaksara Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRs. MPRs sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional.

Di sisi lain, DPR-gr mengusulkan pada MPRs untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRs No. IX/MPRs/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR (tidak pakai kata sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi lima fraksi berikut: (1) Fraksi ABRI 230 orang; (2) Fraksi Karya Pembangunan 392 orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 42 orang; (4) Fraksi Persatuan Pembangunan 126 orang; dan (5) Fraksi Utusan Daerah 130 orang.

Pola MPR sejak tahun 1971 cenderung konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat Suharto sebagai presiden, menerima pidato pertanggungjawaban Suharto, dan menetapkan GBHN yang draft-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.
Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar periode Pemilu. Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah: (1) Fraksi Partai Bulan Bintang berkekuatan 14 orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkekuatan 305 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa berkekuatan 5 orang; (4) Fraksi Partai Daulah Ummat berkekuatan 8 orang; (5) Fraksi Partai Golongan Karya berkekuatan 297 orang; (6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa berkekuatan 109 orang; (7) Fraksi PPP berkekkuatan 123 orang; (8) Fraksi Reformasi berkekuatan 46 orang; (9) Fraksi TNI/Polri berkekuatan 96 orang; dan (10) nonFraksi 1 orang yaitu Dr. Drs. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.

Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Partai Golongan Karya, di mana PKPB dan PBR juga bergabung ke sini; (2) Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan, di mana juga PDS bergabung ke sini; (3) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; (4) Fraksi Partai Demokrat, di mana terdiri atas gabungan 5 parpol dengan 20 kursi; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional; (6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; (7) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; (8) Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi, di mana merupakan gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI; dan (9) Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132 orang.

Pasca Pemilu 2009, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 9 fraksi dan 1 kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Demokrat dengan kekuatan 148 orang; (2) Fraksi Golongan Karya dengan kekuatan 106 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan kekuatan 94 orang; (4) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan kekuatan 57 orang; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional dengan kekuatan 46 orang; (6) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan kekuatan 38 orang; (7) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dengan kekuatan 28 orang; (8) Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dengan kekuatan 26 orang; (9) Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat dengan kekuatan 17 orang; dan (10) Fraksi Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132 orang.

Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat DPR) adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang. Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Fungsi-fungsi yang melekat pada DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi legislasi; dan (3) fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, setiap anggota DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.

Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum dan setiap calonnya berasal dari partai-partai politik. Secara substansial, struktur dan fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya saja, lingkup kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di tingkat Kabupaten atau Kota.

DPR merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik (political representative) karena --- menurut Jimly Asshiddiqie –-- fungsi legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki.

Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap lini: (1) Dalam lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan mekanisme pengaduan harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama pemerintah bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3) Dalam lini output DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input (agregasi kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu legislasi. Dalam kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif tetap ada di tangan DPR.

Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut: 
§                     DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD;
§                     Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi Undang-undang;
§                     Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya;
§                     Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR;
§                     Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
§                     Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
§                     Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan
§                     Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden.
Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan. Hak DPR selaku Lembaga meliputi: (1) hak interpelasi; (2) hak angket; (3) hak menyatakan pendapat; (4) hak mengajukan pertanyaan; (5) hak menyampaikan usul dan pendapat; dan (6) hak imunitas.
Hak Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai lembaga DPR berhak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai: 
§                     kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional;
§                     tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; dan
§                     dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.
Selain itu, Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU; (2) Hak mengajukan pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4) Hak memilih dan dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak protokoler; dan, (8) Hak keuangan dan administratif. Keterangannya adalah sebagai berikut:
1.                  Hak mengajukan rancangan undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan Rancangan Undang-undang.
2.                  Hak mengajukan pertanyaan adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang disusun baik secara lisan/tulisan, singkat, jelas, dan disampaikan kepada pimpinan DPR.
3.                  Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
4.                  Hak memilih dan dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabata tertentu pada alat kelengkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5.                  Hak membela diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan atau memberi keterangan kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
6.                  Hak imunitas adalah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan Kode Etik anggota dewan.
7.                  Hak protokoler adalah hak setiap anggota DPR bersama Pimpinan DPR sesuai ketentuan perundang-undangan.
8.                  Hak keuangan dan administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan, dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat. Sebagai ilustrasi hak ini, menurut Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPRRI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, penerimaan keuangan anggota DPR terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) Gaji Pokok dan Tunjangan, dan (2) Penerimaan Lain-lain. Misalnya, bagi anggota DPR yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi, maka jumlah gaji pokok dan tunjangan bersih sebulannya adalah Rp. 16.207.200. Penghasilan ini ditambah Penerimaan Lain-lain yang total sebulannya mencapai Rp. 35.360.000. Sehingga take home pay seorang anggota DPR yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi adalah Rp. 16.207.200 + Rp. 35.360.000 = Rp. 51.567.200 (telah dipotong pajak). Penghasilan bulanan yang cukup besar ini merupakan bentuk penghargaan rakyat Indonesia kepada para wakil rakyat karena telah bersusah payah memikirkan dan mengurus segala kepentingan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Selain punya hak, anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama masa jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah: (1) Mengamalkan Pancasila; (2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; (3) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; (4) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia; (5) memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; (6) Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; (7) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; (8) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; (9) Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR; dan (10) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

Di DPR, para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi adalah pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik hasil Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan Fraksi lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota salah satu Fraksi. Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing.

Tugas utama fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap kegiatan DPR. DPR juga menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan DPR yang terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4) Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus.

Pimpinan DPR. Pimpinan DPR merupakan kesatuan pimpinan yang sifatnya kolektif. Pimpinan DPR terdiri atas satu Ketua dan tiga Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota dewan dalam Rapat Paripurna. Calon Ketua dan Wakil Ketua diusulkan oleh setiap fraksi kepada Pimpinan Sementara secara tertulis berupa satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas satu orang calon Ketua dan tiga orang calon Wakil Ketua dari Fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai calon Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna.

Setelah terpilih, maka Pimpinan DPR bertugas antara lain: (1) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; (2) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua; (3) Menjadi juru bicara DPR; (4) Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; (4) Melaksanakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; (5) Mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan; (6) Melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; serta menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan (6) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Rapat Paripurna DPR.

Badan Musyawarah. Badan Musyawarah (selanjutnya disingkat Bamus) merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Keanggotaan Bamus ditetapkan DPR lewat Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR. Jumlah Anggota Bamus sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari jumlah Anggota yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Tugas Bamus antara lain: 
1.                  menetapkan acara DPR untuk 1 Tahun Sidang, 1 Masa Persidangan, atau sebagian dari suatu Masa Sidang, dan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian Rancangan Undang-Undang, dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;
2.                  meminta dan/atau memberikan kesempatan alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal
3.                  yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan; dan
4.                  menentukan penanganan suatu Rancangan undang-Undang atau pelaksanaaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR.
Komisi. Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Penetapan ini dilakukan pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.

Setiap Anggota – kecuali Pimpinan MPR dan DPR – harus menjadi anggota salah satu komisi. Jumlah Komisi, Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga non-kementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.

Tugas Komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Tugas Komisi di bidang anggaran adalah: (1) mengadakan Pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; dan (2) mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah.

Tugas komisi di bidang pengawasan antara lain: (1) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya; (2) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya; (3) melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan (4) membahas dan menindklanjuti usulan DPD.

Komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) mengadakan Rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; dan (2) mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili intansinya, mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, mengadakan kunjungan kerja dalam masa reses.

Badan Legislasi. Susunan keanggotaan Badan Legislasi (selanjutnya disebut Baleg) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.

Tugas Baleg antara lain: (1) merencanakan dan menyusun program Legislasi Nasional yang memuat daftar urutan Rancangan Undang-Undang untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap Tahun Anggaran; (2) menyiapkan Rancangan Undang-Undang usul inisiatif DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; (3) melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diajukan Anggota, Komisi, atau Gabungan Komisi sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan Dewan, dan (4) membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan pihak Pemerintah, DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) atau pihak lain yang dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPR.

Panitia Anggaran. Susunan keanggotaan Panitia Anggaran ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Anggota Panitia Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan dari Fraksi.

Panitia Anggaran bertugas melaksanakan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Panitia Anggaran dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal berikut: (1) mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; (2) mengadakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas permintaan Panitia Anggaran maupun atas permintaan pihak lain; dan (3) mengadakan konsultasi dengan DPD.

Badan Urusan Rumah Tangga. Susunan keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (selanjutnya disebut BURT) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.

Tugas BURT adalah antara lain: (1) membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal; (2) membantu Pimpinan DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh sekretariat Jenderal; dan (3) membantu Pimpinan DPR dalam merencanakan dan menyusun Anggaran DPR dan Anggaran Sekretariat Jenderal.

BURT dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada sekretariat jenderal. BURT memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun sidang kepada Pimpinan DPR. Dalam melaksanakan tugasnya BURT bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR.

Badan Kerja Sama antar Parlemen. Susunan keanggotaan Badan Kerja Sama antar Parlemen (selanjutnya disebut BKSAP) ditetapkan oleh DPR menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang ketiga. Susunan keanggotaan BKSAP ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.

Tugas BKSAP antara lain: (1) membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dengan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen-parlemen dan/atau anggota-anggota parlemen; (2) mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR; (3) mengadakan evaluasi dan mengembangkan tindak lanjut dari hasil pelaksanaan tugas BKSAP, terutama hasil kunjungan delegasi DPR ke luar negeri; dan (4) memberikan saran atau usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antar parlemen.

BKSAP dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan konsultasi dengan pihak yang dipandang perlu mengenai hal yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Selain itu, BKSAP juga dapat mengadakan hubungan dengan parlemen negara lain dan organisasi internasional atas penugasan atau persetujuan Pimpinan DPR.

Badan Kehormatan. Susunan keanggotaan Badan Kehormatan (selanjutnya disebut BK) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang ketiga. Anggota BK berjumlah 13 (tiga belas) orang. Tugas BK antara lain: 
1.                  Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan keputusan tersebut kepada Pimpinan DPR.
2.                  Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; melanggar sumpah/janji, Kode Etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota; atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan;
3.                  BK mempunyai wewenang untuk memanggil anggota dewan yang bersangkutan untuk memberikan pernjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Selain itu, BK juga dapat memanggil pelapor, saksi, atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Setelah Badan Kehormatan melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa: 
1.                  Teguran tertulis yang disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Anggota yang bersangkutan;
2.                  Pemberhentian dari Jabatan Pimpinan DPR atau Pimpinan Alat Kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibacakan dalam rapat Paripurna;
3.                  Pemberhentian sebagai Anggota oleh Pimpinan DPR disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan; dan
4.                  Badan Kehormatan dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila Anggota yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang diumumkan dalam rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh Anggota.
Panitia Khusus. Apabila memandang perlu, DPR dapat membentuk Panitia Khusus (selanjutnya disebut Pansus) yang bersifat sementara. Komposisi keaggotaan Pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi. Jumlah Anggota Pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna sekurang-kurangnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 50 orang.

Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna. Pansus bertanggung jawab kepada DPR. Pansus otomatis dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesasi. Rapat Paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja Pansus.

Panitia Kerja. Panitia yang dibentuk oleh Alat Kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja (selanjutnya disebut Panja) atau tim yang berjumlah sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan yang bersangkutan, kecuali Tim yang dibentuk oleh Pimpinan DPR disesuaikan dengan kebutuhan.

Panja atau Tim bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Alat Kelengkapan DPR yang membentuknya. Panja atau Tim dibubarkan oleh Alat Kelengkapan DPR yang membentuknya setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Tindak lanjut hasil kerja Panitia Kerja atau Tim ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

Proses Pembuatan Undang-undang
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

RUU dari Presiden. RUU beserta penjelasan, keterangan, atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang juga menyebutkan Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.

Dalam Rapat Paripurna berikutnya – setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR – Pimpinan DPR memberitahu anggota dewan soal masuknya RUU dari presiden. Pimpinan DPR lalu membagikan RUU tersebut kepada seluruh anggota dewan. Namun, jika RUU tersebut berkait dengan dengan bidang yang diawasi DPD, maka RUU disampaikan kepada Pimpinan DPD.Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.

RUU dari DPD. RUU beserta penjelasan, keterangan, dan naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR. Setelah RUU dari DPD diterima, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna berikutnya. RUU juga dibagikan kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR lalu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU telah dilakukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna.

Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, serta mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Baleg mengundang anggota Alat Kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU. Hasil pembahasan RUU tersebut harus dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

Selanjutnya, RUU yang telah dibahas lalu disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden, yaitu agar Presiden menunjuk menteri yang mewakili Presiden guna membahas RUU tersebut bersama DPR dan juga kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas.

Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.

DPRD Propinsi

Pada prinsipnya, posisi DPRD Provinsi sama dengan DPR, tetapi diarahkan ke pembuatan perundang-undangan di tingkat Provinsi. Eksekutif mitra kerjanya adalah Gubernur. Fungsi DPRD Provinsi adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara itu, tugas dan wewenang DPRD Provinsi adalah sebagai berikut: 
1.                  membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
2.                  menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
3.                  melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
4.                  mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
5.                  memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan
6.                  meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Provinsi memiliki hak yang sama dengan DPR, baik selaku lembaga maupun perseorangan anggota. Hak selaku lembaga tersebut adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Sementara itu, selaku perseorangan, setiap anggota DPRD Provinsi memiliki hak mengajukan rancangan peraturan daerah (perda), hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak protokoler, dan hak keuangan/administratif.

Selain hak, kewajiban anggota DPRD Provinsi adalah sama dengan kewajiban anggota DPR. Hanya saja, lingkup penerapannya ada di Provinsi. Keputusan peresmian jabatan seorang anggota DPRD Provinsi diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.

DPRD Kabupaten atau Kota

Peresmian keanggotaan DPRD Kabupaten atau Kota dilakukan melalui Keputusan Gubernur. Jumlah anggota DPRD Kabupaten atau Kota sekurang-kurangnya adalah 20 dan sebanyak-banyaknya 45 orang. Setiap anggota DPRD Kabupaten atau Kota harus berdomisili di Kabupaten atau Kota tersebut. Untuk hak, kewajiban, dan kewenangan lainnya adalah mirip dengan DPRD Provinsi. Hanya saja, diterapkan di lingkup Kabupaten atau Kota dengan mitra kerjanya yaitu Bupati atau Walikota.

Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD) adalah struktur legislatif yang relatif baru dalam sistem politik Indonesia. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, dan jumlah anggota DPD di setiap provinsi adalah sama. Namun, Undang-undang Dasar 1945 mengatur bahwa jumlah total anggota DPD ini tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam setahun.

Fungsi DPD adalah mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain mengajukan rancangan undang-undang dalam konteks yang telah disebut, DPD juga ikut serta dalam membahas rancangan undang-undang yang mereka ajukan ke DPR. Juga, DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Sehubungan dengan fungsi di atas – mengusulkan, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan – DPD juga punya hak untuk mengawasi pelaksanaan setiap undang-undang berkait masalah di atas. Namun, sebagai hasil pengawasan, DPD tidak dapat bertindak langsung oleh sebab mereka harus menyampaikan terlebih dahulu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam konteks pembuatan undang-undang, DPD amat bergantung kepada DPR.

Anggota DPD dipilih melalui pemilu di setiap provinsi. Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama (misalnya 4 orang) dan total seluruh anggota DPD tidak boleh melebihi dari 1/3 (sepertiga) jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam satu tahun. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. RUU tersebut harus berlingkup pada konteks otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya daerah, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD juga ikut serta dengan DPR membahas RUU yang sudah disebut di atas. Selain itu, DPD juga dapat memberi pertimbangan kepada DPR seputar RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta RUU yang berkaitan dengan masalah pajak, pendidikan, dan agama. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sehubungan dengan hal telah disebut. Hasil dari pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan untuk ditindaklanjuti.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa awalnya DPD dimaksudkan sebagai kamar kedua (second chamber, bicameral) Indonesia. Namun, ketentuan kamar kedua harus memenuhi persyaratan bikameralisme: Kedua kamar sama-sama punya otoritas menjalankan fungsi legislatif. DPD sama sekali tidak punya kekuasaan legislatif. Pasal 22D UUD 1945 menyiratkan tidak ada satupun kekuasaan DPD untuk membuat UU, meskipun berhubungan dengan masalah daerah.

Selain itu, persyaratan menjadi anggota DPD terkesan lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Misalnya, total seluruh anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR. Selain itu, jumlah mereka haruslah sama di tiap provinsi tanpa memandang besar kecilnya jumlah penduduk di provinsi tersebut. Bandingkan dengan anggota DPR yang kursinya diproporsikan menurut jumlah penduduk. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kursi perwakilannya. Sehubungan beratnya syarat anggota DPD ini, contoh dapat diambil di Jawa Timur dalam Pemilu 2009. Total anggota DPD dari provinsi tersebut adalah 4 orang. Satu kursi DPD sebab itu membutuhkan suara 5.500.000 pemilih. Sementara untuk anggota DPR, cuma membutuhkan angka 550.000: Bandingkan antara angka 5.500.000 dengan 550.000.

Maswardi Rauf menyatakan, posisi DPD adalah sekadar partner DPR. DPD yang dipilih langsung oleh rakyat seperti DPR, ternyata tidak memiliki kewenangan yang sama seperti DPR dalam membuat legislasi. Rauf melanjutkan, ketentuan konstitusi ini akibat munculnya beberapa pandangan. Pertama, anggota DPR sesungguhnya telah mencerminkan kepentingan daerah-daerah yang ada di Indonesia. Kedua, kecilnya peran DPD akibat muncul kekhawatiran terjadinya konflik antara DPR dengan DPD dalam proses pembuatan UU yang sulit dicari jalan keluarnya.
-------------------------
Referensi
1.                  Jimly Asshiddiqie, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi, Bahan Seminar Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi, 8 Juli 2008, (Jakarta: DPP Partai Golkar, 2008), h. 4-5.
2.                  www.transparansi.or.id. Istilah-istilah Representatives Bodies, Governing Bodies, Support Bodies, Election Body, Monetary Body, Auditing Body, dan Independent Body yang kemudian digunakan diinspirasikan dari sumber ini.
3.                  Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, (Denpasar: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 14-18 Juli 2003) h.17.
4.                  Undang-undang Dasar 1945, amandemen 4, Pasal 2 dan 3.
5.                  ibid., h. 15-7.
6.                  Maswardi Rauf, Perkembangan UU Bidang Politik Pasca Amandemen UUD 1945, (Pembanding Tulisan makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie.SH berjudul Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 yang disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar, Bali, pada tanggal l4-18 Juli 2003.) h.5.
7.                  ibid.
8.                  www.mpr.go.id
9.                  ibid. Mengenai komposisi MPR selanjutnya mengacu pada sumber ini, jika tidak diseling footnote lain.
10.              www.mpr.go.id
11.              Undang-undang Dasar 1945 ..., op.cit., khususnya Pasal 19, 20, dan 20A.
12.              Jimly Asshidiqie, Struktur …, op.cit., h.20.
13.              Moh. Samsul Arifin, Memaknai Pengajuan Hak Interpelasi, download di www.sinarharapan.co.id/berita/0411/22/nas06.html tanggal 18 Desember 2008.
14.              www.dpr.go.id Pembahasan selanjutnya mengenai DPR ini menggunakan sumber dari situs ini.
15.              ibid.
16.              Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 28.
17.              www.dpr.go.id. Tata Tertib
18.              Informasi dikutip dari www.tempo.co/read/news/2011/05/12/078334148/Ini-Gaji-dan-Fasilitas-Anggota-DPR . Kutipan dilakukan tanggal 29 Desember 2011.
19.              Undang-undang No. 22 tahun 2003, op.cit. Pasal 29.
20.              Keterangan ini dan selanjutnya mengenai DPR diambil dari www.dpr.go.id. Jika tidak diseling oleh footnote lain.
21.              ibid., Pasal 22C dan 22D.
22.              Jimly Asshiddiqie, Struktur …, op.cit. h.18.
23.              Maswardi Rauf, Perkembangan ... op.cit. 

Sistem Kredit Syariah

Mengacu pada hukum ekonomi Islam, utang-piutang harus dikembalikan atau diterima dalam jumlah yang sama dan tak boleh lebih besar karena be...