Ciri-ciri Utama Penelitian Kuantitatif
Oleh : Prasetya Irawan
Beberapa ciri penelitian kuantitatif berikut ini
mudah-mudahan memperjelas pemahaman kita tentang
penelitian kuantitatif. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Permasalahan penelitian terbatas dan sempit
2.
Mengikuti pola berpikir deduktif
3.
Mempercayai angka (statistika atau matematika) sebagai
instrumen untuk menjelaskan kebenaran.
4.
Membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik
mungkin.
1. Permasalahan Penelitian Terbatas
dan Sempit
Sejak awal peneliti kuantitatif telah berusaha membatasi
lingkup penelitiannya, dengan mengidentifikasikan satu atau
beberapa variabel saja. Peneliti berusaha keras untuk memilih variabel yang menurutnya paling penting untuk diteliti. Obsesinya adalah menemukan sesedikit mungkin variabel,
tetapi yang mungkin menjelaskan
realitas kebenaran sebanyak mungkin.
Di kalangan ilmuwan eksakta,
dipercayai bahwa alam semesta ini
diatur oleh hukum-hukum yang sederhana. Jika mereka menemukan suatu penjelasan yang melibatkan banyak variabel,
mereka menjadi gelisah, dan merasa
ada yang salah. Misalnya, mereka percaya
ada satu hukum "sederhana" yang menyatukan empat kekuatan besar di alam semesta (interaksi
lemah, elektromagnetik, gravitasi,
dan interaksi kuat) dalam satu hukum (mereka menyebutnya "The
Grand Unified Theory").
Jika menggunakan rumus regresi, dikenal satu pemeo "less is more". Maksudnya, semakin sedikit
prediktor (variabel X) semakin baik dan semakin besar kekuatan
memprediksi variabel Y. Pendeknya, menemukan gambaran luas dan
umum tentang sesuatu bukanlah cita-cita peneliti kuantitatif.
Tetapi ia memilih satu aspek realitas yang sangat spesifik dan "kecil" untuk
diteliti.
2. Mengikuti Pola Berpikir Deduktif
Secara umum, pola berpikir deduktif
berjalan seperti ini:
Pengamatan Hipotesis Pengumpuian Data
Pengujian Hipotesis Kesimpulan
Albert Einstein percaya betul pada superioritas metode
deduktif ini dan mengatakan (dalam Suriasumantri, 1981)
Tak ada
metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.
Kegagalan dalam menyadari hal ini merupakan
kesalahan dasar filosofis dari banyak sekali peneliti dalam abad 19. Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat
bahwa teori datang secara induktif
dari pengalaman.
Sekedar untuk diingat, jumlah bab di dalam skripsi/tesis/disertasi pada umumnya adalah lima.
Jumlah bab ini bukan sekedar urusan administrasi, tetapi merupakan
cerminan struktur logis pengembangan sains.
3. Mempercayai Statistika atau Matematika Sebagai Instrumen Untuk
Menjelaskan Kebenaran
Ketika suatu saat seseorang mengomentari Albert Einstein tentang teorinya yang rumit (dalam bentuk hitungan-hitungan matematika) bahwa "itu hanya teori, tidak ada gunanya bila tidak cocok dengan realitas di lapangan". Einstein menjawab "Anda
benar, hanya observasi yang mampu membimbing kita menuju ke kebenaran. Saya tidak
percaya pada matematika".
Tentu saja kita tak pernah tahu apakah dialog ini benar-benar terjadi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa semua peneliti kuantitatif (termasuk
Einstein) selalu menggunakan bahasa angka untuk mengungkapkan
pikiran-pikiran mereka. David Hume pernah mengatakan, pemikiran abstrak tanpa kuantitas
dan angka adalah khayalan dan debat kusir
belaka (dalam Lawrence,
1989).
Karena tradisi kuantitatif yang sangat kuat inilah, maka
peneliti ilmu sosial pun merasa "kurang ilmiah" jika tidak menjelaskan penemuan-penemuannya dalam bentuk angka.
Tetapi kadang-kadang hal ini
terjadi secara berlebihan. Banyak peneliti
ilmu sosial, misalnya, memaksakan diri menggunakan rumus regresi (y = a+bx) pada hal data yang dia miliki hanya
berskala ordinal atau bahkan
nominal. Angka yang dihitung pasti muncul. Tetapi angka-angka dalam rumus itu sebenarnya "statistically nonsense".
4. Membangun Validitas Internal dan
Validitas Eksternal Sebaik Mungkin
Menghitung korelasi antara dua
variabel adalah mudah. Tetapi meyakinkan bahwa satu variabel benar-benar
membuat variabel yang lain berubah-ubah, ini yang sangat
sulit. Validitas internal tercapai jika
peneliti berhasil meyakinkan bahwa variabel Y benarbenar dipengaruhi oleh
variabel X (bukan oleh variabel W,K, atau Q).
Selanjutnya, peneliti berpikir, Apakah temuan saya ini juga berlaku di konteks lain (selain penelitian yang saya lakukan?) Bila ternyata ya, berlaku, maka peneliti telah mencapai validitas eksternal. Dalam hal ini, peneliti yang teliti tidak hanya senang karena dia telah mencapai validitas eksternal dalam penelitiannya. Tetapi
dia juga khawatir terhadap kasus-kasus yang bisa mendiskonfirmasi
temuannya. Maka, sebelum orang lain yang mendiskonfirmasi
temuannya, peneliti itu sendiri mencari kasus-kasus yang berpotensi mendiskonfirmasi
temuannya itu.
Dalam hal ini ada beberapa
variabel penting yang berpotensi merusak
validitas internal. Variabel-variabel ini (disebut Extraneous Varable) seperti misalnya History, Maturation, Regression Effect, dan lain-lain) harus
dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh peneliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar